Kisah Berdirinya Organisasi Roekoen Minahasa di Jawa
Oleh, Harry Kawilarang.
Saat dunia dilanda revolusi industri dipertengahan abad ke-XIX, di
Eropa timbul wabah solidaritas sosial yang memperjuangkan hak azasi
manusia. Yang juga menjadi sorotan para penganut hak azasi adalah
negeri-negeri koloni Eropa di Asia-Pasifik dan Eropa-Tenggara.
Pemerintahan Den Haag juga tersudut oleh aksi barisan hak azasi karena
sepak-terjang kekuasaannya terhadap Indonesia.
Gaung hak azasi juga
menggema di Indonesia hingga pihak kerajaan Belanda melakukan langkah
perbaikan hasil perjuangan para penganut hak azasi manusia yang
menguasai parlemen. Langkah perbaikan ini dilakukan dengan pengadaan
politik Ethis memperbaiki nasib bumi-putra digugusan kepulauan
nusantara. Tetapi pemerintahan Batavia baru mulai menerapkan proses
Politik Ethis setelah menguasai Jawa, Maluku, Bangka dan Sumatera
sepenuhnya. Perhatian terhadapgugusan kepulauan lain baru diterapkan Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia-Belanda awal abad ke-XX.
Sebelumnya berbagai kota besar pulau Jawa dibanjiri masyarakat daerah
lain untuk memperbaiki kehidupan sosial-ekonomi. Juga menjadi besi
berani para pelajar daerah untuk melanjutkan pendidikan pada berbagai
perguruan tinggi yang tidak diperoleh didaerah. Ternyata keadaan mereka
menjadi masalah terutama yang baru datang tidak memperoleh pemondokan
dan buta aturan prosedur birokrasi.
Untuk itu masyarakat perantauan
berbagai daerah di Jawa melakukan organisasi-organisasi sosial guna
menanggulangi masalah yang dihadapi perantau yang baru datang dari
leluhur. Cara ini juga dilakukan masyarakat perantau Minahasa pada awal
abad ke-20. Organisasi sejenis memanusiakan manusia berkembang
dikalangan masyarakat perantau Minahasa tanah Jawa. Inisiatif ini
dilakukan oleh J.H. Pangemanan, redaktur harian bahasa Melayu, "Pos
Jawa-Tengah" di Semarang. Yang diprioritaskan terutama adalah anak-anak
militer turunan Minahasa yang terlantar di tanah Jawa.
Roekoen Minahasa :
Nama Minahasa sempat tenggelam dipermukaan, dan yang menonjol adalah
sebutan "Hollanda Manado" bagi suku Minahasa diperantauan. Padahal
Manado adalah nama kota dan bukan suku-bangsa. Sebutan tanah Minahasa
sebagai "De Twaalfde Provintie van Nederland" juga tidak disenangi
masyarakat intelektual Minahasa yang gandrung pada nama Minahasa sebagai
bagian dari awal kebangkitan identitas diri bagi turunan asal Sulawesi
Utara. Untuk itu hingga didirikan organisasi Roekoen Minahasa pada bulan
Agustus 1912 di Semarang.
Organisasi ini kemudian mengembangkan
cabang-cabangnya dan menyebar keberbagai kota ditanah Jawa seperti di
Batavia, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Organisasi ini meningkatkan
bantuan pembangunan sosial ekonomi ke tanah leluhur. Selain terdiri dari
turunan Minahasa, juga bagi yang memiliki hubungankeluarga ataupun melalui ikatan perkawinan.
Anggaran Dasar organisasi dibentuk, lengkap dengan kegiatan
operasional. Antara lain meliputi:
a).Memperjuangkan serta memperhatikan
kepentingan anggota;
b). Melakukan kaderisasi serta menggali dan
melestarikan nilai-nilai budaya yang didasari pada sifat-sifat mapalus;
c). Membantu pengadaan dana guna meringankankehidupan sosial atau
sumbangan pemakaman anggota dengan rasa kebersamaan atas dasar
kekeluargaan;
d). Menyebarkan, memperkenalkan serta memperluas tujuan
organisasi;
e). Menyediakan sarana penampungan dan menyalurkan lapangan
kerja bagi para perantau Minahasa;
f). Pengadaan dana bantuan pendidikan
bagi anak-anak pelajar dan pemuda memperdalam ilmu dan kejuruan
memperoleh keahlian profesi;
g). Mendirikan sarana-sarana tempat
penampungan ataupun rumah sewa bagi pelajar dan pemuda yang menuntut
ilmu diberbagai kota tanah Jawa; h).Turut membantu masalah sengketa
tanah diantara keluarga;
i). Mengembangkan falsafah hidup bagi
eksistensi dan identitas masyarakat turunan Minahasa.
Khusus untuk
pendidikan, organisasi Roekoen Minahasa membentuk lembaga Dana
Pendidikan (Studie Fonds) yang didirikan pada Desember 1913 yang
berperan sebagai penunjang untuk meningkatkan kemajuan pendidikan bagi
masyarakat Minahasa dipimpin Frits Laoh dengan Wakil Ketua, Wim J.M.
Ratoelangi, ditata rapih dan terdiri dari berbagai seksi yang saling
menunjang. Organisasi ini menjadi efektif dan sangat berguna bagi
masyarakat dan pelajar Minahasa perantauan karena juga memiliki Biro
Informasi untuk pendidikan serta informasi lapangan kerja.
Perserikatan Pangkal Setia :
Pengembangan pendidikan menyongsong hadirnya pembaruan abad XX juga
dilakukan di Minahasa dengan didirikannya organisasi pendidikan
Perserikatan Pangkal Setia pada awal tahun 1920'an oleh J.U. Mangowal
di Tomohon. Perserikatan ini di dukung oleh guru-guru Minahasa dari
Sekolah Dasar Zending Genootschap. Diantara mereka adalah Jan Lumenon,
Alex Rumajar dan Wim Lolong. Lembaga ini mengembangkan sarana pendidikan
dan pembangunan sekolah-sekolah yang tersebar diberbagai pelosok
Minahasa.
Organisasi ini turut berperan dengan memberi bea-siswa
bagi siswa-siswa dari orang-tua tidak mampu. Organisasi sosial ini juga
berperan sebagai tempat pengummpulan dana bantuan dari berbagai sponsor
masyarakat perantauan.
Peranan Pangkal Setia juga menonjol ditahun
1930'an ketika para petani kopra Minahasa mengalami paceklik karena
hasil produksinya tidak tersalur akibatdepresi ekonomi dunia.
Roekoen Minahasa dan berbagai organisasi turunan Minahasa mengubah
fungsi menjadi kekuatan politik ketika di Eropa berkecamuk perang dunia
pertama. Hubungan kerajaan Belanda dengan pemerintahan kolonial putus
akibat prahara. Pihak pemerintahan Hindia-Belanda berada pada posisi
mandiri dan harusmelakukan "kompromi" dengan politisi bumi-putera.
Antara lain menghidupkan Volks Raad sebagai bagian dari program
desentralisasi kearah pemerintahan pribumi. Kompromi ini dilakukan
selain untuk memperluas program perluasan Revolusi Industri, juga untuk
mengatasi keamanan imperium terbesar Belanda di Pasifik Barat (sekarang
Asia-Tenggara) karena keterbatasan kekuatan militer yang dimilikinya.
Terutama keamanan wilayah Timur yang menjadi lintasan kapal-kapal Jerman
yang ketika itu masih menguasai wilayah Papua dan gugusan kepulauan di
Pasifik Barat Daya. Biasanya untuk menuju wilayah koloninya, kapal-kapal
Jerman merapat di pelabuhan Bitung yang sejak lama menjadi transit
pelaut Jerman. Secara fisik Perang dunia pertama di Eropa tidak melebar
ke Asia-Tenggara. Tetapi pemerintahan Hindia-Belanda mengkwatirkan
implikasi politik terhadap eksistensi wibawanya di Indonesia-Timur. Nama
Jerman sudah dikenal melalui pengembangan misi Kristen dan turut
berperan menumbuhkan intelektualisme Minahasa, sejak abad ke-XIX. Daerah
Tanawangko dikenal sebagai klave masyarakat Jerman -yang disebut waktu
itu masyarakat Burger. Mereka ini juga berasimilasi dengan penduduk
setempat. Pemerintahan Batavia kwatir bahwa peperangan di Eropa akan
memberi peluang bagi Jerman memperluas pengaruh dan memperoleh simpati
di Minahasa.
Kekwatiran Belanda diketahui kalangan pemuka Roekoen
Minahasa hingga mengubah kegiatan sosial filantropis menjadi kekuatan
sosial-politik kebangkitan identitas. Suasana ini terjadi saat
dibentuknya lembaga Volks Raad sebagai tahap dikembangkannya proses
desentralisasi oleh pemerintahan kolonial. Padahal masa itu yang
dikembangkan adalah pengadaan otonomisasi kearah pemerintahan pribumi
yang berlaku hanya di Jawa saja dan tidak didaerah lain. Karena Jawa
sejak pasca Perang Diponegoro merupakan pusat administrasi pemerintahan
Hindia-Belanda dan berpusat di Batavia.
Tidak berkembangnya
pembangunan digugusan kepulauan luar Jawa karena alasan pemerintah
kolonial masih "sangat terkebelakang" dan masih jauh dari peryaratan
hingga tidak mungkin dilakukan pengembangan desentralisasi. Padahal
akibat diterlantarkannya daerah-daerah luar Jawa telah menimbulkan
dampak buruk. Berbagai daerah mengalami "Brain-Drain," karena banyak
putera daerah merantau ketanah Jawa. Dilihat dari latar belakangnya
pembangunan dan pengembanganpendidikan daerah tidak pernah
berkembang diluar Jawa yang hanya merupakan kantong ekonomi dan
menerapkan cara peninggalan VOC oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Para
putera-daerah menuntut ilmu ditanah Jawa dilandasi oleh motivasi untuk
membangun leluhurnya. Batavia dan berbagai kota di tanah Jawa menjadi
daya-tarik putera-daerah untuk memperoleh ilmu,perbaikan sosial dan
peningkatan karier. Dasar pemikiran itulah hingga para putera daerah di
Jawa mulai giatmemperjuangkan pembangunan daerah melalui lembaga
Volks Raad. Sejak itupun tumbuh berbagai organisasi daerah, seperti Jong
Sumatera Bond, Jong Ambon, Timoresche Club, Jong Minahasa dll.
Isolasi terhadap masyarakat kepulauan luar Jawa dan Sumatera mulai
mengalami perubahan sejak awal abad ke-20 ketika bangsa-bangsa Eropa
mulai memperluas pengaruh kolonialisme ekonomi di Asia-Tenggara.
Penerapan perluasan dominasi ekonomi terjadi saat dunia dilanda revolusi
industri sejak pertengahan abad ke-XIX. Berbagai negeri di Eropa dan
Amerika-Serikat mulai mengembangkan perluasan industri sebagai salah
satu cara untuk memperbaiki tingkat kehidupan sosialmasyarakat.
Untuk memperoleh bahan-bahan mentah bagi roda industri, terapan
kolonialisme ekonomi diperluas dengan kapitalisme sekalipun mengorbankan
hakazasi bangsa-bangsa Asia-Tenggara yang kaya dengan berbagai
bahan agraris dan mineral. Perluasan kolonialisme ekonomi negeri-negeri
paparan Atlantik Utara terhadap Asia-Tenggara terjadi antara kurun waktu
1870 hingga 1940.
Modal kapitalisme negeri-negeri industri mengalir
diberbagai sentra-sentra ekonomi Asia-Tenggara. Akibatnya kawasan ini
menjadi ajang lomba perluasan kolonialisme Barat. Inggris memperkuat
posisi di semenanjung Melayu & Kalimantan-Utara, Prancis di
Indo-Cina, Jerman di Papua Barat (sebelum terbagi menjadi Papua Barat
dan Papua-Niugini setelah perang dunia pertama berakhir) dan AS berhasil
meraih Filipina dari Spanyol.
Sejak terjadinya lomba adu pengaruh,
pihak Belanda memperluas wilayah teritorial ke berbagai kepulauan dluar
Jawa agar tidak di caplok oleh Inggris, Prancis ataupun Jerman. Selain
melakukan tekanan militer seperti yang dilakukan pada perang Aceh,
juga mulai memperhatikan serta memperbaiki sistem pengangkutan
transportasi terutama perhubungan laut antar pulau. Maskapai pelayaran
KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschapij menjadi penghubung laut antar
pulau dengan Jawa pada 1891. Keadaan daerah luar Jawa-Sumatera mulai
mendapat perhatian pemerintahan Batavia terutama menjelang perang dunia
pertama, dalam usaha pemerintahan Idenburg melakukan kampanye
"Indie-Weerbaar", merangkul bumi-
putera untuk memperoleh tenaga sukarelawan bagi keamanan Hindia-Belanda.
Untuk itu pihak pemerintahan juga memberi tempat bagi
wakil-wakil organisasi daerah memperoleh kursi di Volks Raad. Selain itu
juga membentuk beberapa lembaga Perwakilan Rakyat diberbagai daerah.
Hasil perjuangan yang diperoleh organisasi Roekoen Minahasa dengan
terbentuknya lembaga Dewan pemerintahan Manado Raad dan Minahasa Raad di
Sulawesi Utara.
Perjuanganserupa juga diperoleh oleh masyarakat
Sumatera (Barat) dengan terciptanya Minangkabau Raad. Perjuangan
kebangkitan identitas yang dilandasi dari tuntutan hak azasi yang
berkembang sebagai dampak revolusi industri di Eropa berkembang menjadi
revolusi solidaritas. Panutan ini berkembang diberbagai kalangan
intelektual rumpun ethnis digugusan nusantara setelah terjadi
pengingkaran "November Belofte" melanjutkan disentralisasi otonomi
bumi-putera setelah perang dunia pertama usai. Karena pemerintahan
Hindia-Belanda tetap melanjutkan kolonialisme ekonomi. Namun ingkar
November merupakan inti terbentuknya kebersamaan bagi semua rumpun
ethnis menyatukan pola kesatuan identitas Indonesia sebagai bangsa di
gugusan nusantara.
Kiranya peranan Roekoen Minahasa tidak diabaikan
dalam lembaran sejarah Minahasa. Karena lembaga ini, selain berfungsi
sebagai organisasi filantropis, juga turut memotivasi pendidikan politik
hingga masyarakat Minahasa tidak menjadi korban politik masa
kolonialisme Belanda.
|