Mengukur Branding Pariwisata SITARO
(Concept by Jerry Harly Tatengkeng for Gerakan Malunsemahe)
Sejak beberapa tahun terakhir, Kepulauan Sitaro tidak lebih dari sebuah
destinasi yang terlupakan. Sementara Kuta, Banda, Pulau Seribu, Danau
Toba, Raja Ampat dan Bunaken mampu menciptakan differensiasi di pasar
wisata dunia, hampir semua destinasi wisata di Indonesia seperti Bali,
Lombok, Batam, mencatat sejarah dengan kejadian dan perkembangan tanpa
kontrol.
Detinasi pariwisata lainnya mengambil keuntungan besar
dari kampanye pariwisata yang terintegrasi. Republik Indonesia sendiri
pernah bangkit dari berbagai dampak krisis ekonomi dan endemik flu
burung. Sementara daerah kita tetap belum fokus dan tanpa strategi yang
jelas. Selama ini, pihak swasta lebih berperan dalam memasarkan
destinasi tanpa uapya membangun brand, tanpa strategi dan tanpa
integrasi para pemangku kepentingan (stakeholders consolidation).
Sejak dulu selalu tumbuh ide untuk melakukan re-branding distinasi
wisata. Misalnya untuk destinasi Bunaken, beberapa praktisi, pemerhati
dan institusi pariwisata mencoba menawarkan slogan branding yang baru.
Muncullah diantaranya “Sail Bunaken, the inspiration”, “Explore Talaud
Islands with Mane'e”, “The Dazzling of Sangihe”, “Manado for the World”,
dan lain sebagainya. Sekitar empat tahun lalu, pemerintah Bunaken
menetapkan “Manado is one of the the best MICE (Meetings, Incentives,
Conferencing, Exibitions) worldwide Destination” sebagai branding
destinasi yang resmi. Akan tetapi, banyak atau sebagian besar
stakeholder pariwisata justru tidak sepakat dan merasa tidak comfortable
mengaplikasikannya.
Jakarta memiliki ”Enjoy Jakarta”,
Yogyakarta memiliki ”JOGJA”, Solo punya “The Spirit of Java” dan
Semarang memilik ”Ayo Wisata Ke Semarang”. Kabupaten Kepulauan Sitaro
sendiri dulu pernah memiliki Visit Sitaro Archipelago 2012 yang cukup
kontroversi dan dianggap daerah yang dijuluki dengan negeri 47 pulau
ini belum tertata dan masih banyak kekurangan apakah sistim
aksesibilitas, amenitas dan cocularitas sehingga menyebabkan tidak
powerful dan tidak berhasil atau tidak diminati.
Menurut saya, kini makin banyak orang memahami pentingnya brand yang
kuat bagi pemasaran dan komunikasi destinasi pariwisata. Tentunya, tahun
ke depan 2013 - 2018, kita telah belajar dari pengalaman dari Provinsi
Bali yang sukses menjaring 5 juta wisatawan mancanegara (wisman) per
tahun dengan branding “Bali for the world”. Bunaken yang merupakan
saudara tetangga telah mencapai lebih dari 4,7 juta turis asing sejak
dilaksanakan “Sail Bunaken” dan Danau Tondano dengan sangat suksesnya
mencapai hampir 1,1 juta international tourist melalui tagline ”Tondano
lake Festival”.
Bitung, meski dengan sangat agresifnya
menggunakan “Incredible Bitung”, namun hanya mampu mencapai 875 wisatwan
asing di tahun 2010. Akan tetapi, Bitung memiliki hub port yang
angkanya mencapai 1102 wisatawan. Adapun Indonesia Sitaro sendiri, hanya
berkutat pada angka 50 s/d 60 wisatawan per tahun.
Lantas, sampai kapan kita selalu tertinggal ?
Sebetulnya, ide untuk mengevaluasi brand bagi Kepulauan Sitaro bukanlah
hal yang baru. Sengaja saya tidak menggunakan istlah re-branding,
karena Sitaro belum pernah sekalipun menerapkan strategi destination
branding. Saya masih ingat, sekitar pertengahan tahun 2005, sebuah
organisasi pengusaha bahari indonesia terkemuka telah ”menyentil”
masyarakat pariwisata Sitaro untuk segera menciptakan branding baru bagi
salah satu daerah kepulauan di nusa Utara ini. Demi menyampaikan ide
tersebut, pernah juga dilaksanakansebuah pertemuan pencerahan bertajuk
”Merekah Pariwisata Sitaro” bertempat di salah satu hotel bintang di
Manado. Sayangnya, kebanyakan peserta saat itu masih ”kaget” dengan ide
”re-branding”. Hal ini dapat dimaklumi karena branding sangat terkait
dengan visi pengembangan destinasi, kebijakan pemerintah, pemahaman
masyarakat dan kesepakatan semua unsur dan pelaku pariwisata di suatu
daerah.
Artikel ini tidak berusaha memunculkan ide slogan
branding tertentu, tidak pula membahas pentingnya destination brand
untuk daerah tujuan wisatakita, karena saya anggap segenap pilar
pembangunan pariwisata kini telah atau setidaknya mulai memahami isu
ini. Buah pikiran ini saya tuangkan dengan tujuan memaparkan
langkah-langkah, step atau cara yang paling standar dilakukan oleh
sebuah destinasi dalam menentukan kampanye brand macam apa yang terbaik
bagi Kabupaten Kepulauan Sitaro yang nota bene memiliki keindahan dan
keunikan.
Cara atau langkah-langkah yang saya paparkan dalam
tulisan ini sebenarnya telah berhasil diimplementasikan oleh
daerah-daerah yang sudah disebutkan diatas sehingga menghasilkan
”Uniquely Region Destination” dan Bunaken dengan ”Sail Bunaken”. Hal in
sangat penting karena kekuatan sebuah branding adalah bagaimana brand
tersebut dapat mewakili karakter, kekuatan, apresiasi destinasi,
diterima oleh pasar dan segenap stakeholders, serta nyaman
dioperasionalkan oleh semua kalangan.
Baiklah, saya mulai
dengan apa itu branding. Dalam dunia pariwisata, branding merupakan
bagian dari apa yang secara konvensional para pakar pemasaran sebut
sebagai marketing communications. Dalam proses konstruksinya, sebagian
lagi juga memasukkan ke wilayah brand and product development.
Unit Marketing Communications meliputi tindakan strategis dan praktis
para profesional dalam mengkomunikasikan produk, harga, nilai, pesan,
dan proses pemasaran kepada pasar maupun calon pasar (potential market).
Ini meliputi berbagai aspek menajemen advertising dan promosi,
(misalnya mass media advertising, in-store advertising, dsb.), direct
marketing, sales promotion, personal selling dan public relations.
Mem-branding berarti membangun citra dan kemudian mengkomunikasikannya
kepada pasar dan masyarakat luas. Untuk menghasilkan sebuah brand dan
kemudian dapat diimplementasikan oleh tim marketing, ternyata memerlukan
proses yang panjang. Bagi daerah Pariwisata seperti Bali, Lombok, Pulau
Seribu, Danau Toba, Tanah Toraja dan Bunaken pertama-tama yang meraka
lakukan adalah menentukan brand-blue print. Dari brand blue-print inilah
dihasilkan tagline atau slogan destinasi. Langkah ini memerlukan waktu
setidaknya enam bulan (setengah tahun) dengan fokus pembiayaan dari
pihak pemerintah, stakeholders, sponsor dan sumber lainnya.
Kenapa butuh proses dengan biaya yang mahal ? Ternyata dalam proses atau
langkah awal ini terdapat empat tahapan yang harus dilalui terlebih
dahulu. Tahap pertama ialah Audit atau dalam bahasa akademik disebut
research. Apa saja yang perlu diaudit? Ternyata banyak, meliputi
Consumer Research, Communication Audit, Competitive Review, Stakeholders
Audit, Facilities Audit dan External Poll.
Pada proses
Consumer Research, yang terutama diteliti adalah penilaian terkini
mengenai suatu destinasi oleh key target groups. Metodenya adalah
kuesioner semi terbuka dengan fokus riset pada destination identity,
reason for coming, dan main negative/positive points.
Communication Audit adalah proses memahami bagaimana selama ini proses
atau cara sebuah destinasi mengkomunikasikan produknya. Yang diteliti
meliputi kampanye periklanan, publikasi media massa, roadshow dan
promosi serta partisipasi dalam travel mart/trade. Hasil akhirnya adalah
evaluasi terhadap implementasi kinerja divisi marketing communications.
Stakeholders Audit adalah riset opini terkini seluruh pemangku
kepentingan pariwisata. Menggunakan metode wawancara tatap muka (indepth
interview) dengan para top executive di setiap institusi baik
pemerintah maupun swasta, baik yang terkait secara langsung dengan
pariwisata, baik yang diuntungkan oleh pariwisata atau bahkan justru
(bila ada) dengan pihak yang dirugikan oleh pariwisata. Setidaknya,
pihak yang diminta pendapat adalah; pemerintah pengelola pariwisata,
pemerintah non pariwisata, badan legislatif, BUMN, industri utama
pariwisata (seperti perhotelan, restoran, travel agent, airlines, obyek
dan daya tarik wisata, dll.), industri terkait langsung pariwisata,
industri tidak terkait langsung pariwisata, asosiasi bidang pariwisata,
aosisasi non pariwisata, kaum akademisi dan industri media.
Facilities Audit adalah untuk mengetahui dan meminta pendapat mengenai
nilai jual suatu destinasi dari ketersediaan fasilitas dan tingkat
kualitasnya. Metode yang digunakan adalah basic listing, site visits,
interview dan analisis menyeluruh.
External Poll adalah riset
opini bagi key travel people pada feeder market. Tujuannya adalah
memahami kebutuhan dan keinginan para mitra professional di laur negeri
yang selama ini membantu penjualan, pemasaran dan komunikasi destinasi.
Dengan begitu, maka akan diperoleh tabulasi masalah dan tantangan utama
dari perspektif key travel people.
Setelah audit itu rampung,
tahap berikutnya adalah menetapkan visi bagi brand. Berdasarkan hasil
audit (audit report), kira-kira brand apa yang diinginkan di masa
mendatang? Pada tahap ini digali kemungkinan sebanyak-banyaknya gagasan
yang unik dan kreatif mengenai berbagai visi. Tawaran brand harus tidak
melenceng dari visi awal pengembangan destinasi dan hasil audit
tersebut.
Setelah memperoleh visi branding, kemudian dilakukan
eksplorasi slogan, motto atau tagline yang sesuai dengan hasil audit dan
visi branding. Kemungkinan akan muncul puluhan bahkan ratusan slogan
yang nantinya diserahkan kepada segenap stakeholders untuk dipilih
slogan mana yang paling mewakili visi, identitas, nilai, karakter,
budaya, tradisi dan aspirasi destinasi serta tentunya harus dapat
diterima oleh semua pihak sehingga setiap individu merasa nyaman, suka,
rela dan bahkan bangga menggunakannya.
Setelah didapatkan
slogan brand, tim ahli komunikasi menyusun brand guidelines yang menjadi
standar aplikasi slogan tersebut. Ini meliputi penggunaan bahasa, font,
desain, pewarnaan, simbol, visualisasi, feeling & mood, suara,
atmosphere, penyampaian, penggunaan pada berbagai tacktical ads,
collateral dan dan lain sebagainya. Inilah akhir dari proses ”pencarian”
brand.
Setelah terciptanya brand, yang lebih penting adalah
menyusun masterplan untuk destination marketing communications. Tanpa
ini, sebuah brand apapun tidak akan berguna karena tidak dikomunikasikan
secera terencana, terstruktur, terintegrasi, sistematis dan tepat
sasaran. Branding yang didapat dari hasil riset/audit kemudian
diimplementasikan pada berbagai kegiatan pemasaran dan kampanye promosi
destinasi yang sudah digariskan dalam suatu cetak-biru pemasaran dan
komunikasi. Contoh aplikasi branding misalnya untuk pemasangan iklan
komersil ditentukan kapan, media apa saja, siapa targetnya, apa pesan
yang ingin disampaikan, apa materialnya, apa goal-nya, siapa
executor-nya dan berapa biaya yang dibutuhkan.
Dengan
menerapkan langkah-langkah tersebut diaharapkan suatu destinasi wisata
dapat memiliki branding yang benar-benar mewakili identitas dan nyaman
dioperasionalkan oleh semua pihak, mengingat sebenarnya telah banyak
upaya branding dan kegiatan komunikasi di sektor pariwisata. Namun
sayang, proses tersebut tidak dijalankan secara tepat sesuai dengan
langkah-langkah yang diadopsi destinasi unggulan dunia, sehingga tidak
menghasilkan brand yang kuat dan tidak pula menjadi suatu kebanggaan
bagi semua pihak.
Akhirnya, semoga segenap upaya pemasaran dan
komunikasi destinasi di kabupaten kepulauan Sitaro semakin dewasa dan
dapat dilakukan secara integral, terstruktur, sistematis, terencana,
jelas, efektif, efisien dan membawa hasil yang nyata......Semoga artikel
ini sedikit banyak bisa membantu demi pengembangan pariwisata sitaro
sebagai destinasi unggulan....
Cat: Penggunaan Branding Sitaro
harus Memorable, Characteristics Identity, on purpose, in progress, at
circumstances, good track record and interesting......
|
|
|