Hubungan Majikan dan Buruh di Indonesia pada era Modal Global
Sumbangan Pemikiran Zygmunt Bauman
Pendahuluan
Majikan dan buruh[1
adalah dua pihak yang saling membutuhkan dan saling tergantung satu
dengan yang lain. Majikan membutuhkan buruh untuk mengerjakan produksi
dan menghasilkan barang/produk untuk kepentingan usaha/pabriknya.
Sementara buruh membutuhkan majikannya untuk mendapatkan upah atas
tenaga yang diberikannya kepada kepentingan produksi barang sang
majikan.[2 Jadi kedua pihak tersebut, baik buruh maupun majikan sebenarnya saling membutuhkan.
Namun, yang lebih sering terjadi pada hubungan antar kedua belah
pihak tersebut adalah sang buruh seringkali berada pada posisi yang
lebih lemah daripada sang majikan. Buruh dianggap bukanlah mitra yang
sejajar bagi majikan. Buruh hanyalah sebuah obyek bagi majikan untuk
melaksanakan kepentingan mereka. Buruh sering diperas majikan dengan
upah yang relatif kecil karena – untuk konteks Indonesia – banyaknya
tenaga kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja
yang tersedia. Secara sosiologis buruh itu tidak bebas sebagai orang
yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain kecuali tenaganya dan
kadang-kadang terpaksa untuk menerima hubungan kerja dengan majikan
meskipun memberatkan bagi buruh itu sendiri.
Bagi majikan sendiri, tuntutan-tuntutan yang dianggap mereka
berlebihan dari para buruh dapat membuat mereka dengan cepat mengganti
buruh tadi dengan orang lain karena banyaknya tenaga kerja seperti yang
telah disebutkan di atas. Buruh yang banyak menuntut haknya justru
dianggap sebagai sebuah beban yang harus disingkirkan. Majikan memandang
kalau para buruh dengan serikat buruhnya terlalu banyak menuntut,
padahal tuntutan mereka tidak sebanding dengan apa yang mereka berikan
(kemampuan/skill) kepada majikannya.
Di Indonesia sekarang, modal internasional berarti pinjaman bank,
konsesi minyak dan pertambangan, dan penanaman modal industri dalam
pabrik tekstil, pakaian, dan perusahaan-perusahaan yang membuat
sepatu-sepatu sport.Akhirnya, modal/kapital (capital) adalah
sebuah hubungan antara mereka yang mengontrol alat-alat produksi dan
mereka yang bekerja kepada mereka yang mengontrol tadi. Kapital adalah
kekuatan untuk mendikte buruh dan menarik keuntungan yang
sebesar-besarnya dari mereka.[3
Pada zaman sekarang ini, di tengah-tengah arus globalisasi,
modernisasi di segala bidang, hubungan kedua belah pihak tersebut,
majikan dan buruh, justru terlihat semakin tidak baik. Modernisasi yang
tercipta dari ide-ide manusia untuk mengatur kehidupan agar lebih damai
dan lebih mudah justru memiliki dampak yang buruk bagi hubungan buruh
dan majikan melalui modal globalnya. Tidak jarang konflik yang terjadi
antara buruh dan majikan (aksi demonstrasi menuntut kenaikan gaji, atau
menuntut fasilitas-fasilitas bagi para buruh) berakhir dengan kekerasan.
Entah itu majikan yang memakai ‘jasa’ oknum militer, atau preman untuk
membubarkan aksi demonstrasi para buruh (dan sekaligus memecat para
tokoh buruhnya), atau para buruh yang memblokir perusahaan sehingga
perusahaan tidak dapat diproduksi, atau bahkan sampai ke tingkat
perusakan pabrik itu sendiri. Modernitas dan globalisasi turut menambah
rumit masalah ini. Penulis akan mencoba menguraikan bagaimana hal ini
bisa terjadi, jika ditinjau dari pemikiran Bauman. Bagaimana modernitas
membawa konflik antara buruh dan majikan ini semakin tajam. Selamat
membaca.
Hubungan Subyek-Obyek
Hubungan antara majikan dan buruh bisa dijelaskan melalui persoalan
subyek-obyek yang pada akhirnya akan mengidentifikasikan obyek tersebut
melalui bahasa dan definisi subyek. Di tengah-tengah zaman modern ini,
kemungkinan para buruh untuk bertemu muka langsung dengan majikannya.
Sistem absensi dengan menggunakan kartu yang tinggal dimasukkan ke dalam
daftar hadir memang lebih efisien dalam perusahaan-perusahaan besar.
Sistem kerja yang mengurangi sisi kemanusiaan seorang manusia ini justru
dipakai karena sistem tersebut dianggap memudahkan dan membuat produksi
lebih efisien.
Para buruh tidak lagi dikenal karena dia bernama Suti, atau Andi,
atau Rudi, dan siapa mereka sebenarnya, apakah latar belakang mereka,
dan lain sebagainya, melainkan Suti, Andi dan Rudi lebih dikenal sebagai
buruh dengan nomor induk pegawai xxxxxxxxx di divisi pengepakan barang,
atau divisi distribusi. Majikan mereka akan lebih mengenal mereka
berdasarkan catatan pekerjaan mereka, atau berdasarkan daftar kehadiran
mereka, dan bagaimana kualitas pekerjaan mereka. Andi adalah seorang
buruh yang rajin masuk kerja, tidak pernah absen, sedangkan Suti sering
tidak masuk. Identifikasi buruh bagi majikan hanyalah sebatas efisiensi
kerja dan fungsi sang buruh. Identifikasi yang diberikan oleh majikan
berdasarkan bahasa sang majikan.
Demikian juga bagi para buruh, majikan mereka tidak lebih dari
sekedar orang yang memperkerjakan mereka dan membayar upah mereka.
Mereka tidak akan mengenal majikan mereka, katakanlah Toni, sebagai
seorang bapak dari dua anak, sebagai seorang yang cinta keluarga dan
taat beragama, melainkan Toni sebagai seorang majikan yang selalu
terlambat membayar Tunjangan Hari Raya (THR)[4
para buruh. Toni yang kurang memperhatikan nasib pegawainya. Toni yang
tidak pernah kelihatan wajahnya, karena selalu diwakili oleh wakilnya.
Identitas Toni direduksi menjadi hanya Toni yang berhubungan dengan
buruhnya, bukan Toni yang sesungguhnya. Identifikasi buruh terhadap
majikannya diberikan berdasarkan bahasa buruh tersebut.
Dalam konflik, misalnya sebuah demonstrasi buruh menuntut kenaikan
gaji, identifikasi ini menjadi semakin tajam. Majikan akan melihat
buruhnya sebagai: orang yang kurang berpendidikan, kurang ber-skill,
terlalu banyak menuntut, ekonomi lemah, kasar, tidak tahu diuntung
karena sudah dipekerjakan, dan akhirnya majikan
akan melihat buruh sebagai ancaman. Langkah majikan selanjutnya bisa
terjadi dua kemungkinan, majikan bernegosiasi dengan buruh, atau majikan
menolak semua tuntutan buruh dan memecat mereka (karena majikan selalu
menyadari bahwa masih banyak orang lain yang mau dipekerjakan karena
banyaknya tenaga kerja yang menganggur tersebut). Sementara buruh akan
melihat pengusaha sebagai: orang yang tidak menghargai buruhnya, mau
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, ekonomi kuat, banyak modal, tidak
manusiawi, dan akhirnya akan melihat majikannya sebagai orang yang harus
dituntut. Langkah buruh selanjutnya adalah apabila diterima
bernegosiasi maka mereka akan bernegosiasi, namun apabila permintaan
mereka ditolak, kekerasan sangat mungkin terjadi.
Heterofobia
Ketika para buruh menyadari akan pentingnya sebuah kesatuan di antara
mereka, mereka membentuk sebuah serikat buruh. Serikat buruh ini akan
dipandang sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang asing. Majikan tidak
mengenal ‘binatang’ macam apa serikat buruh ini. Meskipun majikan tidak
sepenuhnya memahami apa itu serikat buruh dan karenanya dia tidak bisa
berkomunikasi dengannya, maka serikat buruh tidak bisa diharapkan
bertindak seperti apa yang ada di dalam pikiran sang pengusaha. Karena
itu majikan akan menjadi takut dan resah dengan kehadiran serikat buruh
di perusahaannya. Majikan menjadi merasa tidak aman karena dia merasa
bahwa dia tidak memiliki kontrol atas serikat buruh itu. Bahasa yang
digunakan oleh majikan dan serikat buruh tidak sama dengan bahasa yang
digunakan oleh serikat buruh. Ini adalah heterofobia.
Heterofobia berarti ketakutan akan yang lain atau yang berbeda.
Menurut Bauman ini semua biasa. Karenanya pengawasan menjadi lebih kuat
di zaman modern. Dengan ilmu pengetahuan modern, majikan ingin
menjadikan sesuatu yang belum biasa menjadi biasa. Dia harus mengawasi
serikat buruh itu. Dia harus mengawasi para buruhnya.
Teori Berkebun
Bauman menggunakan istilah Gardening[5 untuk mengilustrasikan modernitas. Baginya berkebun itu adalah sebuah aktivitas yang hampir sama dengan engineering (keahlian
tekhnik). Seorang tukang kebun melaksanakan rencananya pada kebunnya
menurut pemikiran dia. Kebun itu merupakan sebuah realisasi ide tukang
kebun itu. Tetapi untuk mencapai tujuan itu tukang kebun harus
menyingkirkan banyak benda yang tidak sesuai dengan pemikirannnya, mulai
pohon, rumput, bunga, dan lain-lain. Itu semua terjadi karena sang
tukang kebun menghendaki adanya suatu ketertiban di dalam kebunnya.
Modernitas adalah seperti seorang tukang kebun yang hendak melaksanakan
ide-idenya kepada kebunnya.
Kita juga bisa memakai penjelasan Bauman ini untuk menjelaskan
hubungan buruh dan majikan. Majikan itu adalah tukang kebun. Dia
pastilah memiliki gagasan-gagasan untuk membuat perusahaannya beruntung.
Dalam mewujudkan gagasannya itu dia bisa saja menghilangkan
bagian-bagian yang dia tidak suka dan menggantinya dengan sesuatu yang
lain. Dia bisa saja memecat buruh-buruh yang dia tidak suka, dalam hal
ini buruh-buruh yang sering melakukan aksi menuntut kenaikan upah dan
lain sebagainya, karena dia adalah sang tukang kebun. Bunga-bunga liar
yang melukai tangannya akan dipotongnya sampai habis, dan diganti dengan
bunga-bunga lain yang lebih ramah kepada tukang kebun tadi.
Modal Global
Modal global adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari di zaman modern ini. Perusahaan-perusahaan multi-nasional[6
dengan bergegas akan mencari negara-negara tujuan pemasaran dan
produksinya. Tujuan mereka adalah negara dengan sebuah biaya produksi
yang murah, mudah mendapatkan bahan baku produksi, namun bisa mengambil
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Indonesia adalah salah satu negara tujuan dari perusahaan-perusahaan
multi-nasional ini. Selain kemudahan dalam bahan baku karena kayanya
alam Indonesia, murahnya upah para buruh juga merupakan salah satu daya
tarik bagi perusahaan-perusahaan asing untuk menanamkan modal mereka.
Modal asing, kebanyakan dari Jepang, dan juga Taiwan, Hong Kong, dan
Singapura., dan beberapa dari negara-negara di Eropa, dan juga tidak
lupa Amerika Serikat, tiba dalam bentuk investasi langsung dalam
pabrik-pabrik yang memproduksi mobil, alat-alat elektronik, tekstil,
garmen, dan industri sepatu. Perusahaan ini didirikan bukan hanya untuk
kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk kebutuhan pasar Asia Tenggara,
Jepang, dan juga Amerika Serikat. Pabrik-pabrik di Indonesia
memproduksi sepatu untuk Nike, Reebok, pakaian untuk Gap dan Banana
Republic, bahkan industri tekstil yang digunakan oleh Calvin Klein.[7
Pemerintahan Suharto yang terdahulu menarik perhatian para penanam
modal asing karena kediktatorannya dan lingkungan yang bebas serikat
buruh, yang berarti upah yang rendah dan keuntungan besar buat
perusahaan-perusahaan asing ini.[8
Perusahaan-perusahaan ini juga biasanya lebih menyukai adanya sebuah
manajemen lokal yang dipimpin oleh orang-orang lokal juga. Mereka
memberikan otonomi khusus kepada perusahaan mereka untuk diatur oleh
manajemen lokal. Namun meskipun demikian, kekuasaan tertinggi tetap ada
di tangan pemilik saham perusahaan induk.
Modernitas dan globalisasi memungkinkan terjadinya masuknya
perusahaan-perusahaan multi-nasional ke negara-negara yang menurut
mereka akan menguntungkannya. Administrasi dan birokrasi, dua hal yang
muncul akibat modernitas, turut mempermudah masuknya
perusahaan-perusahaan asing ini. Ketika administrasi sudah baik,
perusahaan-perusahaan multi-nasional ini akan selalu dapat memonitor
perkembangan dunia, dan memilih negara mana yang paling menguntungkan
untuk dimasuki, berdasarkan data-data yang mereka peroleh akibat baiknya
administrasi dunia. Birokrasi tergantung kepada situasi politik negeri
tujuan perusahaan ini. Karena itu, birokrasi juga menjadi salah satu
faktor masuknya modal asing ke Indonesia. Penguasa dapat dengan mudah
mengeluarkan ijin bagi perusahaan-perusahaan ini masuk, asalkan ada
komisi yang memadai bagi sejumlah orang tertentu yang duduk di kursi
kekuasaan.
Hubungan dengan Pemerintah
Hubungan perusahaan-perusahaan multi-nasional yang masuk ke Indonesia
dengan pemerintah Indonesia sebenarnya tidak menguntungkan bagi negara
Indonesia. Modal-modal asing yang masuk ke Indonesia hanya dinikmati
oleh sejumlah orang saja, dan bukan negara. Sejumlah orang yang duduk di
kursi kekuasaan akan mengambil kesempatan ini (masuknya modal asing)
sebagai kesempatan untuk memperkaya diri sendiri. Dengan memperlancar
birokrasi bagi izin perusahaan-perusahaan yang akan masuk itu, mereka
akan mendapatkan ‘bagian komisi’ mereka dari kontrak yang
ditandatangani, atau bonus-bonus yang diberikan oleh
perusahaan-perusahaan tersebut agar ijin perusahaan mereka cepat keluar.
Ketika krisis ekonomi menghantam Asia pada tahun 1997, Indonesia
adalah salah satu negara yang paling parah terkena dampaknya. Hingga
paper ini ditulis, Indonesia belum mampu menunjukkan titik terang di
mana mereka akan sanggup melewati krisis ini dan memperbaiki kondisi
ekonomi mereka. Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat Indonesia mau
tidak mau menambah hutang negara melalui pinjaman dari Bank Dunia dan
IMF.
Yang membuat hal ini menjadi semakin menarik adalah ketika kita
menelusuri lebih lanjut lagi siapa orang-orang yang duduk di IMF. Siapa
saja orang yang membuat kebijakan di Bank Dunia. Orang-orang dari negara
manakah mereka. Para petinggi-petinggi IMF dan Bank Dunia kebanyakan
berasal dari negara-negara di mana perusahaan-perusahaan multinasional
tadi bermarkas, Amerika Serikat, Jepang, beberapa negara di Eropa Barat,
dan lain sebagainya. Kebijakan yang mereka buat pastilah tidak akan
merugikan negaranya dalam hal pemasukan devisa melalui
perusahaan-perusahaan mereka yang tersebar di seluruh dunia ini,
terutama dalam kasus ini di Indonesia.
Dari keuntungan yang mereka dapatkan (perusahaan-perusahaan
multinasional) dari Indonesia, mereka akan memberikan pinjaman kepada
Indonesia kembali melalui IMF dan Bank Dunia. Dengan pinjaman tersebut
mereka akan dengan mudahnya menekan pemerintah Indonesia untuk membuat
peraturan-peraturan pemerintah yang sifatnya menguntungkan mereka.
Ironis memang, uang rakyat Indonesia justru dipakai untuk menekan bangsa
Indonesia melalui hutang luar negerinya. Akibatnya pemerintah menjadi
tidak independen. Pemerintah mau tidak mau harus menyetujui Letter of Intent
yang disodorkan oleh IMF demi memperoleh modal untuk memperbaiki
ekonomi negara yang sudah morat-marit. Hubungan antara majikan (pemilik
perusahaan) dan buruh sudah semakin rumit.
Perubahan Identitas
Masuknya perusahaan-perusahaan ini, dengan pemiliknya yang adalah
orang asing, semakin mengaburkan identitas majikan dan buruh. Identitas
buruh di sini menjadi bertambah. Bagi majikan mereka, para buruh tidak
lain dari orang-orang yang ada di negara dunia ketiga yang bodoh, kurang
berpendidikan, dan sudah puas menerima upah yang rendah, bahkan kalau
mereka membangkang sedikit, penggantinya sudah banyak yang mengantri.
Perubahan identifikasi yang semakin ruwet ini juga diikuti dengan
adanya suatu manajemen lokal yang ikut menambah rumit suasana.
Perusahaan-perusahaan multinasional yang ada biasanya selalu diatur oleh
sebuah manajemen lokal. Kebijaksanaan manajemen lokal juga biasanya
tidak menguntungkan para buruh. Para pelaku manajemen ini biasanya juga
ingin turut mengambil kesempatan dalam eksploitasi besar-besaran ini
untuk memperkaya dirinya sendiri.
Sementara itu bagi para buruh, majikan mereka juga bukan sekedar
orang yang membayar upah mereka, melainkan juga orang yang berasal dari
negara maju yang hanya ingin mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga
buruh yang ada di Indonesia. Identifikasi buruh terhadap majikan adalah
orang yang kaya, penguasa modal, berasal dari dunia barat, hanya ingin
mengambil keuntungan, dan sangat kuat dalam hal ekonomi. Mereka juga
melihat identitas majikan mereka sebagai orang yang dilindungi oelh
kebijakan-kebijakan sepihak dari pemerintah yang sudah tertekan oleh IMF
tadi. Identifikasi mereka terhadap majikannya bisa menjadi semakin
rancu dengan adanya manajemen lokal tersebut. Mereka belum tentu bisa
membedakan kebijakan mana yang sebenarnya diambil oleh pemilik modal
asing (perusahaan pusat) atau kebijakan yang diambil oleh manajemen
lokal.
Kekerasan yang Terjadi
Ketika buruh merasa kepentingan mereka semakin terancam oleh
kebijaksanaan-kebijaksanaan perusahaan, maka jalan terakhir yang bisa
mereka tempuh setelah jalan negosiasi gagal adalah berdemonstrasi.
Serikat buruh akan selalu mencari jalan negosiasi terlebih dahulu dengan
perusahaan, namun apabila gagal, jalan demonstrasi adalah satu-satunya
jalan terakhir yang mereka miliki. Dengan perut yang lapar karena
rendahnya upah yang diterima, dan ketidakpastian akan nasib mereka,
mereka berusaha menuntut haknya. Di sini kekerasan sangat mungkin
terjadi. Apabila orang lapar dan marah menuntut haknya, dan tidak
dipenuhi, kekerasan menjadi sebuah hal yang sangat mungkin terjadi.
Majikan mereka yang kemudian menjadi takut akan kemungkinan ini akan
mengambil langkah pencegahan agar hal ini tidak terjadi. Keyakinan bahwa
setiap langkah mereka akan didukung oleh pemerintah, yang sebelumnya
sudah ditekan oleh kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh negara yang
memberi pinjaman modal kepada Indonesia, membuat mereka cenderung
menolak langkah bernegosiasi. Langkah kekerasan juga menjadi sebuah
pilihan yang sangat terbuka yang kemungkinan besar akan diambil oleh
sang majikan. Karena identifikasi mereka terhadap buruh yang mengatakan
bahwa buruh adalah kaum yang tidak berpendidikan, maka satu-satunya
jalan yang akan dimengerti dan ditakuti oleh para buruh adalah jalan
kekerasan. Perusahaan seringkali menyewa oknum polisi, militer, preman,
atau organisasi kemasyarakatan setempat untuk menjadi lawan buruh ketika
mereka berdemonstrasi. Selain unsur otoritas, di mana mereka harus
mematuhi atasan mereka yang memerintahkan mereka untuk menghalau para
buruh yang sedang berdemonstrasi, oknum polisi, militer atau preman akan
mendapatkan upah mereka dari hal ini. Kekerasan kemudian menjadi sebuah
pilihan yang sangat mungkin terjadi.
Kesimpulan dan Saran
Bauman mengatakan bahwa modernitas tidak bertentangan dengan holocaust.
Kekerasan bukanlah antitesis dari seni. Kekerasan adalah bagian dari
modernitas. Ketika modernitas datang, seperti seorang tukang kebun, dia
akan mencabut bagian-bagian yang tidak diperlukan olehnya. Proses
pencabutan hal-hal yang tidak dibutuhkan ini disebabkan oleh adanya
suatu proses identifikasi yang dilakukan, sehingga dia bisa menentukan
yang mana yang harus dicabut dan yang mana yang harus dibentuk ulang.
Kekerasan menjadi hal yang sangat mungkin terjadi dalam konteks
hubungan buruh dan majikan di Indonesia pada era modal global ini. Sama
seperti pendapat Bauman, kekerasan bukanlah antitesis dari modernitas,
melainkan sejalan dengan modernitas itu. Identifikasi yang sebenarnya
merupakan sebuah proses dehumanisasi dari arti dan nilai manusia itu
sendiri justru terjadi dalam hubungan majikan dan buruh. Bahkan dalam
konteks Indonesia, kekerasan justru menjadi sangat mungkin (karena
sebagian didorong oleh sikap manusia Indonesia yang katanya modern itu
sendiri).
Yang bisa penulis sarankan untuk memecahkan kebuntuan ini adalah
sebuah proses perubahan identifikasi. Identifikasi subyek terhadap obyek
memang akan selalu subyektif. Perubahan identifikasi ini harus
dilakukan oleh buruh dalam mengidentifikasi majikannya, dan terutama
untuk para majikan dalam mengidentifikasi para buruhnya.
Apabila sebuah pengertian utama, seperti yang telah penulis paparkan
di dalam bagian awal dari paper ini: “majikan dan buruh adalah dua pihak
yang saling membutuhkan dan tergantung satu dengan yang lain” selalu
diingat dalam proses identifikasi tersebut, maka sebuah kerjasama yang
baik akan tercipta. Dalam mengidentifikasi buruh, majikan hendaknya
memandang buruh sebagai ‘mitra yang sejajar’, dalam arti buruh bukan
hanya orang upahan yang bisa diangkat dan diberhentikan setiap saat,
melainkan buruh adalah ‘mitra yang sejajar’ bagi majikan dalam hal
kemajuan produksi. Apabila majikan menganggap buruh sebagai mitranya,
maka dia tentunya akan lebih menghormati dan menghargai hak-hak sang
buruh. Apabila buruh merasa dirinya sebagai mitra dan dia ikut
bertanggung jawab atas maju dan mundurnya perusahaan, maka dia akan
selalu berusaha sebaik mungkin dalam memajukan perusahaan tempat dia
bekerja. Sebuah sense of belonging akan tertanam dalam pikiran
sang buruh dan ini akan meningkatkan semangat dan motivasi bekerja sang
buruh tersebut. Apabila sudah demikian, jika perusahaan bertambah maju,
maka sang majikan juga mendapatkan keuntungan, dan sang buruh juga ikut
merasakan keuntungan tersebut. Hubungan kedua pihak akan saling
menguntungkan.
Proses perubahan identifikasi ini sangatlah penting apabila majikan
dan buruh dalam era modal global. Identifikasi buruh yang selama ini
hanyalah sebagai alat bagi majikan harus diubah apabila majikan juga
ingin menciptakan sebuah suasana kerja yang kondusif. Prinsip yang harus
selalu diingat dan dipegang teguh dalam proses identifikasi ini adalah
bahwa “majikan dan buruh adalah dua pihak yang saling membutuhkan dan
saling tergantung satu dengan yang lain.” Semoga dengan proses perubahan
identifikasi yang penulis sarankan ini, hubungan majikan dan buruh di
Indonesia yang selama ini sering terlihat dalam konflik bisa pulih
kembali, dan akhirnya mereka saling bantu dalam mengangkat Indonesia
keluar dari lembah krisis multi-dimensi yang sedang menimpa negara
Indonesia.
[1
Menurut UU No. 22/1957 pasal 1 ayat (1) dinyatakan: “Buruh adalah
barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah.” Jadi tidak
dibedakan antara buruh kasar seperti kuli bangunan, mandor, tukan, dan
lain-lain, dengan buruh “white collar”, yaitu pegawai kantor, pegawai
pemerintah, dan lain-lain. In English, buruh is labor, or moreless employee, and majikan is the employer.
[2 Zainal Asikin, SH., SU. (Ed.), Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), h. 1.
[3 Dan La Botz, Made in Indonesia (Cambridge, Massachusetts: South End Press, 2001), h. 56.
[4 THR is a bonus in the form of certain amount of money that was received by labor near holidays such as christmas, or lebaran.
[5 Zygmunt Bauman, Modernity and the Holocaust (New York: Cornell University Press, 2000), h. 65-66.
[6
Perusahaan multi-nasional adalah perusahaan yang memiliki beberapa
tempat produksi di beberapa negara dan dikenal hampir di seluruh dunia,
misalnya perusahaan Coca Cola, Nike, dan lain-lain.
[7 Botz, op.cit., h. 35.
[8 Ibid.
sumber : http://binsarspeaks.net
|