Oleh, Hasanudin Abdurakhman
Posted at FB GDI
PGSD yang kita kenal adalah singkatan dari Pendidikan Guru Sekolah
Dasar. Ini adalah Program Diploma II di bidang pendidikan, untuk
mendidik calon guru Sekolah Dasar. Tamat dari program ini seseorang
dianggap layak menjadi guru Sekolah Dasar.
Tapi PGSD yang
hendak saya bahas dalam tulisan ini lain lagi ceritanya. PGSD yang ini
singkatan dari Pokoknya Gelar Saya Doktor! Ini adalah cerita yang
mencerminkan buruknya dunia pendidikan kita.
UU Guru dan Dosen
yang dianggap bisa memperbaiki nasib dan kesejahteraan guru dan dosen
ternyata membawa efek sampingan. Perbaikan gaji guru dan dosen melalui
sejumlah tunjangan tidak diberikan secara otomatis dan pukul rata. Ada
sejumlah syarat yang harus dipenuhi, antara lain sertifikasi. Untuk
guru, salah satu syarat untuk sertifikasi ini adalah lulus sarajana S1.
Sedangkan untuk dosen, harus dipenuhi kualifikasi sarjana S2. Tambahan
lagi, bagi dosen akan lebih menguntungkan bila ia punya kualifikasi S3.
Lulus program doktoral akan lebih memudahkan untuk mencapai jabatan
fungsional akademik guru besar (profesor).
Semua syarat itu
tentu dimaksudkan untuk kebaikan. Artinya para guru dan dosen harus
memiliki kualifikasi tertentu, agar mutu pendidikan yang mereka asuh
meningkat. Tapi apa lacur. Negeri ini adalah negeri sertifikat. Segala
sesuatu ditentukan oleh kertas-kertas dokumen, bukan isi yang diwakili
kertas itu. Untuk naik seberkas dokumen jauh lebih penting dari mutu si
penyerah dokumen itu. Petugas dan pejabat yang menilai lebih teliti
memeriksa dokumen ketimbang memeriksa orang.
Maka pak guru dan
dosen tidak berlomba meningkatkan kualitas. Mereka berlomba berburu
sertifikat. Program S1 bagi guru-guru tumbuh bak jamur di mana-mana.
Semua menawarkan kemudahan. Kuliah cukup di akhir pekan. Programnya
tidak lama-lama, bahkan bisa lebih singkat dari program reguler.
Demikian pula halnya dengan program S2-S3 bagi dosen. Kualitasnya?
Jangan tanya. Lulusannya menyandang predikat PGSD tadi. Pokoknya Gelar
Saya Doktor.
***
Dosen-dosen kita memang disuruh hidup
di alam tak rasional. Seorang dosen bergelar doktor yang baru
menyelesaikan pendidikan bisa mendapat pangkat/golongan IIIc atau IIId.
Gaji perbulan kurang lebih 2,5 juta rupiah. Mau bagaimanapun caranya,
mustahil bisa hidup layak dengan uang sekecil itu.
Tapi
biasanya ada yang berdalih. Dosen kan punya pemasukan lain. Misalnya,
penelitian, proyek, program ini itu. Hingga jabatan struktural, posisi
politis dan sebagainya.
Ya, ada yang dapat itu, sehingga
penghasilannya jauh melampaui orang-orang yang bekerja di sektor swasta.
Tapi masalahnya tidak semua dapat. Universitas besar punya posisi yang
lebih baik untuk mendapat proyek-proyek. Universitas kecil nyaris gigit
jari. Itu satu soal. Soal lain, lha kenapa universitas kok mengurusi
proyek-proyek untuk cari duit, bukan mengembangkan pendidikan.
Penelitian? Ini masalah lagi. Penelitian akhirnya jadi ajang untuk cari
duit, bukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Hasilnya,
lagi-lagi setumpuk kertas laporan.
Gejala PGSD juga tidak
terlepas dari ketimpangan ini. Penyelenggaranya (perguruan tinggi) butuh
pemasukan. Pesertanya butuh gelar. Betermulah mereka di pasar bisnis
pendidikan.
|